![https://i-h2.pinimg.com/564x/0f/00/24/0f0024c163e64f88a902919a3d3ab865.jpg](https://i-h2.pinimg.com/564x/0f/00/24/0f0024c163e64f88a902919a3d3ab865.jpg) |
sumber: pinterest |
“Wah, enak dong jadi kamu.”
“Kamu harusnya begini…”
“Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan…”
Di dalam hati aku berkata, “Nggak, kamu nggak akan mau jadi aku, memiliki hidup seperti aku.” Tapi, tentu saja hal itu nggak aku sampaikan secara langsung. Sering kali aku mendengar kata-kata serupa dilontarkan oleh orang lain. Seolah mereka tahu benar apa yang mesti dan bisa aku lakukan. Apa-apa yang menurut mereka benar dilakukan. Tentu saja yang benar menurut mereka itu mengikuti standar mereka. Dan, seperti yang kita tahu, kebenaran itu sebenarnya tergantung pada sudut pandang kamu melihat. Ketika mereka melihat menggunakan kacamata sudut pandang mereka saja, mereka menilai hal itu benar untuk dilakukan. Meskipun mereka tidak melihat kacamata dari sudut pandangku yang memiliki hidup secara langsung.
Well, aku juga tidak akan menghakimi apa yang mereka katakan. Kucoba untuk berikan senyum dan ucapan terima kasih. Atau cukup mengangguk dan mendengarkan saja.
“Kalian tidak mengerti…”
Pernah kusuarakan keenggananku. Namun, tentu saja respon yang seperti ini menuntut penjelasan. Tidak mengerti kenapa? Coba dijelaskan. Ah, bahkan aku pun tidak ingin membaginya dengan kerumitan pikiranku. Aku hanya ingin membiarkan benang-benang ruwet itu disimpan di salah satu sudut benakku. Biarkan tetap di sana. Sewaktu-waktu akan kubuka ketika tidak ada orang.
“Kalian tidak pernah mengalami hal yang pernah aku alami…”
Menyenangkan rasanya setelah membuka kotak berisi benang ruwet itu. Kini, simpul-simpul yang membuat benang itu terpilin telah diluruskan dan aku bisa menyimpan benang itu kembali di dalam kotak kenangan. Namun, tahu apa yang terjadi setelahnya? Aku tidak bisa menghindari tatapan mereka yang kini berbeda yang diikuti dengan ingatan betapa menyedihkannya diriku. Menyedihkan karena aku harus membuka kotak itu dan memperlihatkannya kepada orang lain.
Dan kini, jika mendapatkan saran apa pun, aku akan diam saja. Cukup mendengarkan. Aku menghargai mereka yang masih memedulikanku.
Seiring bertambahnya usia, aku mulai melihat banyak kehidupan orang lain. Kotak-kotak penuh benang yang pernah aku intip. Warna-warna dan bentuk simpulnya berbeda dengan milikku, tapi bentuk kusutnya begitu nyata. Semua orang memiliki dramanya masing-masing. Sang pencipta menyesuaikan takarannya sesuai dengan kemampuan manusia. Seperti petinju di sebuah game, setiap manusia memiliki kemampuan untuk membela dirinya. Untuk melindungi diri. Untuk menghadapi dramanya masing-masing. Tak usah risau, semua orang mendapatkannya. Tuhan itu Maha Adil.
Dan, hei, masalahmu tidak sebesar itu tergantung kacamata siapa yang kamu pakai. Jika menurutmu begitu besar, artinya Tuhan menyangimu. Kamu mampu menghadapinya. Tuhan mengetahuinya. Dia memberikan kamu kemampuan lebih untuk menyelesaikannya.
Ingatkan aku untuk mengatakan hal ini kepada diriku. Aku mungkin akan membutuhkannya lagi suatu hari nanti. Bukankah setiap naik kelas, ujiannya akan semakin berat?