Judul : 86
Penulis : Okky Madasari
ISBN : 9789792267693
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 252 halaman
Sinopsis
Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?
Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.
Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.
Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.
Pokoknya, 86!
Review
Mungkin sebelumnya banyak yang bertanya-tanya apa maksud dari '86' yang menjadi judul dari novel ini. Well, saya pun juga belum tahu. Awalnya saya menebak-nebak '86' itu adalah angka kelahiran atau kode rahasia, melihat dari sinopsis di belakang novelnya "Pokoknya, 86!" Setelah saya baca keseluruhan isinya, saya mulai paham. Saya akan beri tahu pengertiannya di akhir tulisan nanti, heheh.
Sebelumnya saya akan memberikan spoiler dikit tentang isi cerita dari novel ini. 86 mengisahkan tentang kehidupan Arimbi, seorang pegawai pengadilan. Sebagaimana streotype dari kebanyakan masyarakat Indonesia, menjadi pegawai negri itu dianggap pekerjaan yang "wah". Yang penting bisa jadi pegawai. Memakai seragam, memiliki gaji tetap setiap bulan, dan mendapatkan jaminan di hari tua adalah impian setiap orang tua untuk anak-anaknya kelah. Para orang tua menyekolahkan anak-anaknya mengharapkan anak-anak mereka kelak menjadi pegawai. Begitu juga yang dialami oleh Arimbi. Meskipun sebenarnya pekerjaannya adalah hanya seorang juru ketik, namun tetaplah seorang pegawai. Ia dianggap menjadi seseorang yang berderajat tinggi karena menjadi pegawai negeri. Apalagi ia bekerja di Jakarta. Maka bertambahlah pandangan positif orang kampung terhadap dirinya. Meskipun mereka tidak mengetahui bahwa Arimbi tinggal di gang kumuh di Jakarta. Satu lagi mindset dari kebanyakan orang Indonesia kalau bekerja di Jakarta itu adalah pekerjaan yang sangat "wah".
Arimbi awalnya adalah sosok yang lugu, bersih, dan tidak tahu apa-apa. Gajinya yang pas-pasan membuatnya hidup secara pas-pasan juga. Hingga suatu hari ia mendapatkan "hadiah" dari seseorang yang berpekara di pengadilan. Saat itu yang bertugas untuk mengetik surat perkaranya adalah Arimbi. Itulah awal dari Arimbi mulai ternodai dengan praktek korupsi.
Ia mulai menyadari bahwa praktik korupsi itu bukan sesuatu yang salah, tapi adalah hal yang lumrah. Hal yang salah akan menjadi benar saat semua orang sudah melakukannya. Awalnya ia merasa bersalah, namun lama kelamaan ia menjadi candu. Korupsi itu mudah dan menguntungkan. Orang tidak akan menjadi kaya jika tidak korupsi. Misalnya saja atasan Arimbi yang bisa berpakaian mewah dan jalan-jalan ke luar negri. Atau sahabat Arimbi di kantornya yang bisa membeli mobil baru dan berpakaian bagus. Gaji seorang pegawai negri tidak akan mampu membeli semua barang tersebut. Teman-teman sekantor Arimbi sudah biasa dengan kerja sama yang melibatkan uang ini. Sudah jadi rahasia umum semua orang melakukannya di kantornya. Yang penting semua orang yang terlibat mendapat keuntungan.
Hingga suatu hari Arimbi terlibat langsung dalam sebuah perkara besar. Ia menjadi perantara dari transaksi suap, meskipun dirinya tidak terlibat apa-apa. Dari sinilah dimulai perubahan hidup Arimbi 180 derajat. Untuk kelengkapan ceritanya silahkan baca novelnya ya heheh :)
Kelebihan dari novel ini adalah novel ini mengangkat cerita kehidupan sehari-hari. Tanpa kita sadari, sehari-harinya kita bertemu, mengalami, dan menyaksikan praktek korupsi itu sendiri. Penulis dalam novel ini memperlihatkan realitas kehidupan dari bangsa Indonesia kalau dari struktur ke atas hingga ke bawah di pemerintahannya dipenuhi korupsi. Mulai dari hakim yang dianggap sebagai lembaga yang paling adil, bisa diadilkan dengan uang pelicin yang pas. Sampai struktur yang paling bawah seperti kelurahan yang mengurus surat-surat administrasi pernikahan. Semua urusan surat menyurat bisa selesai dengan membayar harga yang sesuai. Dua dari contoh di atas saya sudah mengetahuinya. Satu hal fenomena dari korupsi yang baru saya ketahui dan membuat saya tercengang-cengang setelah membaca novel ini. Yaitu praktek korupsi di dalam penjara. Setiap pintu ada uang masuknya jika seseorang ingin membesuk para narapidana. Dan yang lebih mencengangkan saya adalah transaksi sabu-sabu yang diceritakan di dalam novel ini. Sebelumnya saya hanya mengetahuinya melalui berita tentang pengedaran sabu-sabu dari penjara. Saya tidak tahu paham detailnya. Namun setelah membaca novel ini, saya menjadi tahu detailnya.
Meskipun cerita fiksi, novel ini menurut saya relevan dengan fakta yang ada terkait dengan fenomena-fenomena korupsinya. Apalagi dengan latar belakang penulis yang dulunya pernah bekerja sebagai wartawan bidang hukum dan korupsi--seperti yang disebutkan oleh penulis di halaman tentang penulis.
Kelebihan lainnya dari novel ini adalah saya suka kesetiaan dari kisah cinta Arimbi dan Ananta. Saya mungkin tidak bisa menjudge lifestyle kehidupan sex bebas mereka sebelum menikah. Namun saat Arimbi mengalami keterpurukan dalam hidupnya, Ananta tetap setia menemaninya. Bahkan saat Arimbi di dalam penjara. (tuh kan spoiler lagi! heheh) Akhir dari kisah Arimbi tidaklah bahagia. Penulis memperlihatkan seseorang yang sudah sekalinya terlibat dan menjadi candu dalam praktek korupsi akan sulit untuk lepas dari korupsi itu sendiri. Korupsi itu seperti candu. Seperti rokok dan narkoba, korupsi juga menjadikan manusia untuk berani berbuat haram lainnya. Mulai dari mencandu rokok, lalu menjadi narkoba. Mulai dari mencoba narkoba, lalu menjadi pengedar. Pokoknya hal-hal seperti itulah. Meskipun berusaha untuk lepas, namun saat kesulitan ekonomi mereka akan kembali lagi pada cara termudah, yaitu dengan mencari uang dengan cara haram. Pokoknya 86 deh!
86 itu sendiri artinya adalah yang penting ada uangnya, semua beres! Setelah selesai membaca novel ini, saya langsung mencari di mbah google kira-kira apa pengertian 86 itu dan dari mana asalnya. Menurut Suara Merdeka, 86 adalah sandi yang harus dimengerti anggota polisi yang memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami sebuah ''taruna''. Taruna itu sendiri aritinya perintah. Jadi 86 artinya mengerti perintah. Namun istilah 86 berkembang menjadi pengertian negatif. 86 adalah istilah yang digunakan untuk menyuap polisi dengan sejumlah uang untuk melancarkan penanganan kasus. Kira-kira sama pengertiannya yang ada dalam novel ini.
Novel ini wajib dibaca buat semua orang. Sebagai pendidikan tentang buruknya praktek korupsi atau pun sebagai hiburan di saat santai. Saya memberikan rating 4 bintang untuk novel keren ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar