Minggu, 22 November 2015

[Review Movie] All is Well (2015)


Film ini wajib ditonton buat yang lagi butuh hiburan dan lagi suntuk atau lagi kesel lagi galau. Pokoknya ngehibur banget. Lucu tapi penuh haru. Bikin ketawa tapi juga bikin nangis.

Mungkin buat yang udah pernah nonton 3 idiots sudah tahu dengan kalimat All is Well. Yang artinya semuanya baik-baik saja. Kita harus tetap berfikir positif bahwa apapun masalah dan rintangan yang kita hadapi akan ada jalan keluarnya. Film ini juga filosofinya seperti itu. All is Well. Kita harus berfikir positif supaya hasilnya juga positif.

Film ini menceritakan tentang hubungan orang tua dan anak. Khususnya konflik antara ayah dan anak. Mereka memiliki banyak masalah dan berusaha melarikan diri dari masalah tersebut. Tokoh ayahnya diperankan oleh Rishi Kapoor, memiliki masalah dengan toko rotinya yang tidak terlalu laku. Ia dan istrinya (yang dibintangi oleh Supriya Pathak) sering bertengkar semenjak anaknya kecil. Anaknya yang bernama Inder yang dibintangi oleh Abhishek Bachchan muak dengan pertengkaran orang tuanya. Ia bahkan tidak menyukai ide ayahnya yang ingin meneruskan usaha toko rotinya bersama-sama dengan dirinya. Setelah lulus, Inder pergi merantau ke Australia. Disana ia bekerja sebagai musisi. Ia bahakan jatuh cinta dengan Nimmi, seorang gadis yang juga berasal dari India dan tinggal di Australia.

Suatu hari Inder mendapatkan kabar bahwa ayahnya akan menjual toko rotinya dan Inder juga akan mendapatkan bagiannya dengan syarat Inder harus kembali ke India untuk mendatangi surat-suratnya. Saat itu Inder membutuhkan uang untuk membuat albumnya. Ia memutuskan kembali ke India, yang disaat bersamaan Nimmi juga harus kembali ke India karena ia akan menikah. Nimmi sudah berusaha agar Inder berfikir ulang dan mau menikah dengannya. Namun Inder tetap tidak mau berkomitmen.

Saat sampai, Inder baru mengetahui bahwa orang yang bernama Chimmer yang menelponnya kemarin adalah debt collector. Ayahnya terlilit hutang dengan debt collector dan menggadaikan tokonya sebagai jaminannya. Sang debt collector membutuhkan tanda tangan Inder dan ayahnya untuk surat-suratnya. Chimmer memberikan waktu satu hari kepada ayah dan anak itu agar mendatangi surat-surat jual belinya.

Tidak hanya soal hutang piutang ayahnya, Inder juga mnegetahui bahwa ibunya sakit Alzheimer. Ia membawa ibunya pulang. Sesampainya di rumah, Chimmer menagih tanda tangan itu. Mereka terselamatkan karena Chimmer dikejar-kejar polisi. Banyak kejadian lucu di scene ini. Seperti tukar menukar mobil, atau adegan saat Chimer dan polisinya jatuh. XD

Dari situlah dimulai petualangan Inder, ayahnya, ibunya, bersama Nammi. Lanjutannnya silahkan ditonton sendiri ya. XD

Film ini bagus mungkin juga karena aktor-aktor yang pinter banget memainkan perannya. Tokoh ayahnya, ibunya, Inder, Nymmi, Chimme, dan lain-lainnya membuat film yang release tanggal 25 Agustus ini jadi bagus banget. Keren semua pokoknya! Film ini selain lucu, juga memiliki banyak pesan moral. Pertama, punya impian boleh saja namun jangan egois, pertimbangkan orang-orang terdekatmu, terutama orang tua. Sering kali kita sebagai seorang anak berfikir bahwa impiannya tidak sejalan dengan keinginan orang tua. Kita bisa kok meraih impian sekaligus membahagiakan orang tua.

Kedua, film ini seperti filosofinya All is Well memberikan pesan moral agar kita jangan pernah lari dari masalah itu, tapi hadapilah dan pikirkan solusinya. Akan ada selalu jalan untuk setiap masalah jika kita berfikir positif, misalnya niatnya untuk membahagiakan orang tua. AKu terharu banget saat Inder berusaha menebus kesalahannya dengan memberikan hadiah-hadiah yang tidak pernah dibayangkan oleh kedua orang tuanya bisa terwujud.

Berfikir positifnya ini juga menjadi prinsip hidup Nimmi. Ia percaya dengan top secret. Aku pernah menonton video tentang top secret ini saat SMA. Intinya, top secret dari kehidupan ini adalah kita harus terus berfikir positif dan berfikir yang baik-baik saja, semesta akan mempertemukan kita dengan apa yang kita fikirkan. Berfikir negative, maka akan kejadian yang jelek-jelek. Berfikir positif, maka kita akan bertemu dengan impian kita. Nimmi selalu membawa buku top secret ini kemana-mana. Ia selalu meyakinkan Inder agar berfikir positif tentang hubungan mereka. Namun Inder yang sudah melihat pernikahan ayah dan ibunya yang berantakan selalu pesimis dan berfikir negative tentang pernikahan. Hingga akhirnya Nimmi menyerah dan membuag buku top secretnya yang memiliki arti bahwa ia tidak percaya lagi dengan berfikir positif. 

Ending dari film ini berakhir bahagia, lucu, dan bikin ketawa. Yuk nonton filmnya ^_^

Bonus: salah satu scene saat para polisi ngejar-ngejar Chimme dan anak buahnya. Polisi dengan mobilnya mendorong mobil yang dipakai Chimme hingga masuk ke dalam gubug.


Trus pas mobil polisi dan mobil yang dipakai Chimme masuk ke dalam gubuk, gubuknya jadi tergeser kanan kiri, sementara mobilnya dua-duanya masih dalam gubuk XD

Sabtu, 21 November 2015

[Review Novel] Paper Towns Karya John Green


Summary

Who is the real Margo?

Quentin Jacobsen has spent a lifetime loving the magnificently adventurous Margo Roth Spiegelman from afar. So when she cracks open a window and climbs into his life—dressed like a ninja and summoning him for an ingenious campaign of revenge—he follows. After their all-nighter ends, and a new day breaks, Q arrives at school to discover that Margo, always an enigma, has now become a mystery. But Q soon learns that there are clues—and they're for him. Urged down a disconnected path, the closer he gets, the less Q sees the girl he thought he knew...


Review 

Novel ini menceritakan tentang seorang cewek bernama Margo Roth Spigelman yang menghilang. Kira-kira begitulah isi ringkasan dari novel ini. Terpengaruh dari ide ceritanya tentang pencarian orang hilang, yang berarti ada unsure detektif-detektifnya dan yang biasanya cerita seperti itu bikin penasaran, jadi deh aku tertarik untuk membaca novelnya. Untungnya sebelum membacanya aku tidak membaca komentar dan review orang di goodreads. Karena reviewnya juga banyak yang agak negative juga, yang akan aku jelaskan nantinya.

Tentang penulis novel ini, tentunya banyak orang yang sudah mengenal John Green, penulis novel best seller The Fault in Our Star atau yang disingkat TFIOS. Filmnya di awal release juga katanya banyak yang bikin orang nangis but me heuheu. Meskipun aku tidak terlalu terenyuh gitu saat menonton filmnya, harus aku akui aku suka style John Green dalam bercerita. Yang juga menjadi alasan utama aku mau membaca Paper Towns ini. 

Seperti yang aku katakakan tadi, novel ini ada bau-bau detektifnya. Saat melihat judulnya aku jadi  bertanya-tanya apa maksud paper towns itu. Ternyata maksudnya ya itu. Silahkan baca sendiri deh, heheh. 

Kelebihan dari novel ini adalah pertama, novel ini bikin penasaran. Pertanyaan-pertanyaan seperti Margo hilangnya kemana? Gimana endingnya nanti? Dan yang paling bikin penasaran, kira-kira bagaimana caranya Margo bisa ditemukan? 

Yang kedua, kelebihan dari novel ini adalah penulisnya bisa bercerita dengan baik. Aku sudah menyebutkannya ya tadi? Pokoknya novel ini bisa bikin nggak bosen. Terutama untuk kategori novel Young Adult. Apalagi novel ini diisi dengan humor dan filosofi kehidupan. Ohyah, salah satu petunjuk yang diberikan oleh margo adalah ada di dalam sebuah puisi. Yang bikin novel ini makin berwarna aja. Apalagi nama-nama karakternya juga unik, kayak Quentin dan Margo yang menjadi tokoh utama di dalam novel ini. Selain nama yang unik, karakter yang kuat menjadi poin lebih dari novel ini. Karakter yang kuat maksud aku disini adalah karakter yang terlihat keunikannya masing-masing. Yang bikin pembacanya, seperti aku, jadi begitu menyukai atau membencinya.
 
Berikut beberapa karakter yang cukup aku suka dan tidak sukanya. Karakter yang paling tidak aku sukai adalah Margo. Alasannya?

Saat menghilang, Margo meninggalkan beberapa clues agar semua orang mau mencarinya. Sebenarnya clues itu sengaja ditinggalkannya untuk Quentin teman masa kecilnya, yang menurutku, adalah cinta pertamanya meskipun sepertinya ini tersirat dan tidak tertulis secara gambling di dalam novel. Margo adalah seorang gadis yang popular, sedangkan Quentin adalah cowok biasa-biasa saja. Jujur aja, aku kurang suka dengan sifat-sifatnya Margo. Oke, dia memang popular, tapi dia menghilang seenak jidatnya sendiri. Tidak mengabari dan tidak memberitahu dimana keberadaannya. Tentu aja orang tuanya cemas. Teman-temannya cemas. Apalagi Quentin yang udah naksir Margo dari kecil dan diam-dia selalu menyukai Margo. Emang perbuatannya menghilang itu terbilang cukup berani dan ia udah terbiasa menghilang dan meninggalkan petunjuk-petunjuk supaya orang bisa mencarinya. Tapi justru itu bikin dia makin keliatan egois dan hanya mencari perhatian orang lain.
 
Sedangkan Quentin, dia seperti pahlawan—Margo diakhir cerita juga menganggapnya seperti itu—yang menurut aku karena saking naksirnya sama Margo, tetangganya yang gak pernah anggap dia sejak mereka kecil, kok mau-maunya mecahin clues yang dikasih Margo supaya bisa menemukannya. She doesn’t deserve that! Ugh!

Karakter yang paling aku suka di novel ini adalah Radar, aku lupa nama aslinya hehe. Dia adalah sahabatnya Quentin dan Ben. Radar cukup bijak saat menasehati Quentin, kalau semua orang itu gak bisa dipaksa untuk menjadi seperti dirimu. Kamu adalah kamu, kamu bukan orang lain dan tidak bisa menjadi orang lain. Orang lain juga tidak bisa menjadi sama sepertimu atau memiliki sifat dan keinginan yang sama sepertimu. Karena sifat orang itu beda-beda. Kira-kira begitulah yang disampaikan oleh Radar saat Quentin berantem sama Ben.
 
Omong-omong, setelah aku selesai membaca novel ini aku langsung melihat review orang di goodreads. Beberapa ada yang bilang novel ini mirip sekali dengan Looking For Alaska. Bahkana da yang bilang harusnya novel ini berjudul Looking For Margo. Saat berada di bagian tengah cerita aku juga berfikir kira-kira Looking for Alaska ceritanya seperti apa? Apa ada orang yang menghilang juga? Aku belum berani baca review orang di goodreads sih. Karena gak mau terpengaruh di komentar negatifnya. Meskipun banyak yang bilang kedua novel Paper Towns dan Looking For Alaska itu punya pola yang sama dan mirip, aku jadi makin penasaran dan ingin membaca untuk melihat sendiri kemiripan kedua ceritanya. 

Untuk penilaian keseluruhan aku masih bingung sih mau memberikan 4 bintang atau 3, tapi aku akhirnya, memutuskan memberikan bintang 3. Novelnya memang menarik, bikin pembaca penasaran dan gak bikin bosen. Tapi yah karena karakter Margo yang ruined isi ceritanya. Karena secara gak langsung karakter Margo juga mempengaruhi isi cerita. 
 
Okay, selanjutnya aku bersiap untuk Looking for Alaska. ^_^



Senin, 02 November 2015

[Review Novel] 86 karya Okky Madasari



Judul : 86
Penulis : Okky Madasari
ISBN : 9789792267693
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 252 halaman

Sinopsis
 
Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.

Pokoknya, 86!


Review 
  
Mungkin sebelumnya banyak yang bertanya-tanya apa maksud dari '86' yang menjadi judul dari novel ini. Well, saya pun juga belum tahu. Awalnya saya menebak-nebak '86' itu adalah angka kelahiran atau kode rahasia, melihat dari sinopsis di belakang novelnya "Pokoknya, 86!" Setelah saya baca keseluruhan isinya, saya mulai paham. Saya akan beri tahu pengertiannya di akhir tulisan nanti, heheh.

Sebelumnya saya akan memberikan spoiler dikit tentang isi cerita dari novel ini. 86 mengisahkan tentang kehidupan Arimbi, seorang pegawai pengadilan. Sebagaimana streotype dari kebanyakan masyarakat Indonesia, menjadi pegawai negri itu dianggap pekerjaan yang "wah". Yang penting bisa jadi pegawai. Memakai seragam, memiliki gaji tetap setiap bulan, dan mendapatkan jaminan di hari tua adalah impian setiap orang tua untuk anak-anaknya kelah. Para orang tua menyekolahkan anak-anaknya mengharapkan anak-anak mereka kelak menjadi pegawai. Begitu juga yang dialami oleh Arimbi. Meskipun sebenarnya pekerjaannya adalah hanya seorang juru ketik, namun tetaplah seorang pegawai. Ia dianggap menjadi seseorang yang berderajat tinggi karena menjadi pegawai negeri. Apalagi ia bekerja di Jakarta. Maka bertambahlah pandangan positif orang kampung terhadap dirinya. Meskipun mereka tidak mengetahui bahwa Arimbi tinggal di gang kumuh di Jakarta. Satu lagi mindset dari kebanyakan orang Indonesia kalau bekerja di Jakarta itu adalah pekerjaan yang sangat "wah". 

Arimbi awalnya adalah sosok yang lugu, bersih, dan tidak tahu apa-apa. Gajinya yang pas-pasan membuatnya hidup secara pas-pasan juga. Hingga suatu hari ia mendapatkan "hadiah" dari seseorang yang berpekara di pengadilan. Saat itu yang bertugas untuk mengetik surat perkaranya adalah Arimbi. Itulah awal dari Arimbi mulai ternodai dengan praktek korupsi.

Ia mulai menyadari bahwa praktik korupsi itu bukan sesuatu yang salah, tapi adalah hal yang lumrah. Hal yang salah akan menjadi benar saat semua orang sudah melakukannya. Awalnya ia merasa bersalah, namun lama kelamaan ia menjadi candu. Korupsi itu mudah dan menguntungkan. Orang tidak akan menjadi kaya jika tidak korupsi. Misalnya saja atasan Arimbi yang bisa berpakaian mewah dan jalan-jalan ke luar negri. Atau sahabat Arimbi di kantornya yang bisa membeli mobil baru dan berpakaian bagus. Gaji seorang pegawai negri tidak akan mampu membeli semua barang tersebut. Teman-teman sekantor Arimbi sudah biasa dengan kerja sama yang melibatkan uang ini. Sudah jadi rahasia umum semua orang melakukannya di kantornya. Yang penting semua orang yang terlibat mendapat keuntungan. 

Hingga suatu hari Arimbi terlibat langsung dalam sebuah perkara besar. Ia menjadi perantara dari transaksi suap, meskipun dirinya tidak terlibat apa-apa. Dari sinilah dimulai perubahan hidup Arimbi 180 derajat. Untuk kelengkapan ceritanya silahkan baca novelnya ya heheh :) 

Kelebihan dari novel ini adalah novel ini mengangkat cerita kehidupan sehari-hari. Tanpa kita sadari, sehari-harinya kita bertemu, mengalami, dan menyaksikan praktek korupsi itu sendiri. Penulis dalam novel ini memperlihatkan realitas kehidupan dari bangsa Indonesia kalau dari struktur ke atas hingga ke bawah di pemerintahannya dipenuhi korupsi. Mulai dari hakim yang dianggap sebagai lembaga yang paling adil, bisa diadilkan dengan uang pelicin yang pas. Sampai struktur yang paling bawah seperti kelurahan yang mengurus surat-surat administrasi pernikahan. Semua urusan surat menyurat bisa selesai dengan membayar harga yang sesuai. Dua dari contoh di atas saya sudah mengetahuinya. Satu hal fenomena dari korupsi yang baru saya ketahui dan membuat saya tercengang-cengang setelah membaca novel ini. Yaitu praktek korupsi di dalam penjara. Setiap pintu ada uang masuknya jika seseorang ingin membesuk para narapidana. Dan yang lebih mencengangkan saya adalah transaksi sabu-sabu yang diceritakan di dalam novel ini. Sebelumnya saya hanya mengetahuinya melalui berita tentang pengedaran sabu-sabu dari penjara. Saya tidak tahu paham detailnya. Namun setelah membaca novel ini, saya menjadi tahu detailnya. 

Meskipun cerita fiksi, novel ini menurut saya relevan dengan fakta yang ada terkait dengan fenomena-fenomena korupsinya. Apalagi dengan latar belakang penulis yang dulunya pernah bekerja sebagai wartawan bidang hukum dan korupsi--seperti yang disebutkan oleh penulis di halaman tentang penulis. 

Kelebihan lainnya dari novel ini adalah saya suka kesetiaan dari kisah cinta Arimbi dan Ananta. Saya mungkin tidak bisa menjudge lifestyle kehidupan sex bebas mereka sebelum menikah. Namun saat Arimbi mengalami keterpurukan dalam hidupnya, Ananta tetap setia menemaninya. Bahkan saat Arimbi di dalam penjara. (tuh kan spoiler lagi! heheh) Akhir dari kisah Arimbi tidaklah bahagia. Penulis memperlihatkan seseorang yang sudah sekalinya terlibat dan menjadi candu dalam praktek korupsi akan sulit untuk lepas dari korupsi itu sendiri. Korupsi itu seperti candu. Seperti rokok dan narkoba, korupsi juga menjadikan manusia untuk berani berbuat haram lainnya. Mulai dari mencandu rokok, lalu menjadi narkoba. Mulai dari mencoba narkoba, lalu menjadi pengedar. Pokoknya hal-hal seperti itulah. Meskipun berusaha untuk lepas, namun saat kesulitan  ekonomi mereka akan kembali lagi pada cara termudah, yaitu dengan mencari uang dengan cara haram. Pokoknya 86 deh!

86 itu sendiri artinya adalah yang penting ada uangnya, semua beres! Setelah selesai membaca novel ini, saya langsung mencari di mbah google kira-kira apa pengertian 86 itu dan dari mana asalnya. Menurut Suara Merdeka, 86 adalah sandi yang harus dimengerti anggota polisi yang memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami sebuah ''taruna''. Taruna itu sendiri aritinya perintah. Jadi 86 artinya mengerti perintah. Namun istilah 86 berkembang menjadi pengertian negatif. 86 adalah istilah yang digunakan untuk menyuap polisi dengan sejumlah uang untuk melancarkan penanganan kasus. Kira-kira sama pengertiannya yang ada dalam novel ini.

Novel ini wajib dibaca buat semua orang. Sebagai pendidikan tentang buruknya praktek korupsi atau pun sebagai hiburan di saat santai. Saya memberikan rating 4 bintang untuk novel keren ini.

Awal yang Baru

source: pinterest.com Dari luar jendela, kudengar rintik hujan mengetuk-ngetuk bumi. Kubuka pintu kamar dan berjalan menuju balkon. Ku...